PDM Kabupaten Batang - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM  Kabupaten Batang
.: Home > Artikel

Homepage

Arus Balik Kejahatan

.: Home > Artikel > PDM
10 Oktober 2011 11:00 WIB
Dibaca: 2063
Penulis :

Kawe Shamudra

Kehidupan pasca lebaran, selain bermakna kemenangan, juga menyimpan tragika memilukan. Kemenangan hanya dinikmati bagi mereka yang prestasi imannya meningkat. Sedangkan tragika terjadi akibat kecerobohan manusia dalam bertindak dan menyikapi keadaan.   Maka Arus Balik selalu mengundang keprihatinan ketika perayaan Lebaran tidak sanggup membangkitkan kesalehan dan kesadaran spiritual. Lebaran benar-benar bermakna “bubar” dalam makna luas, ketika jiwa kembali pada posisi semula.

Arus balik menjelma menjadi ruang traumatis manakala borok-borok kehidupan gagal disembuhkan, atau justru kian parah.  Jika diumpamakan tsunami, arus balik mengalir jauh lebih deras dan ganas. Mampu menerjang dan menghancurkan apapun yang dilewatinya.  Di bulan Ramadhan, orang berduyun-duyun ke masjid, memperbanyak sujud-doa, sodakoh dan munajat lainnya. Menjelang lebaran berduyun-duyun ke kampung halaman. Setelah itu terjadi arus balik. Kembali ke habitat semula. Kembali terjebak kemacetan dan kepiluan. Kembali menemukan kepalsuan-kepalsuan.

 Ramadhan dan lebaran sekadar jeda melepas kegelisahan. Menghentikan skandal untuk sementara waktu dengan pura-pura mendekati Tuhan. Setelah bulan suci berlalu, skandal-sekandal mulai dilancarkan kembali dalam spektrum yang lebih canggih. Agama kembali menjadi lipstick kehidupan, kulitnya dipakai, tetapi isinya diingkari. Yang semula gemar berhianat mulai bersiap melanjutkan aksi jahatnya. Para elit pemegang amanat kembali menelantarkan rakyatnya. Mereka tak sanggup menghasilkan kebijakan manusiawi untuk melepaskan bangsa ini dari belitan kenestapaan.

Konon kita hidup di negeri berdaulat , tetapi tidak pernah mendapatkan jaminan kesejahteraan. Kaum penganggur kian subur. Hak hidup mereka hanya tercatat dalam kalimat konstitusi, namun tidak pernah dibaca dan diimplementasikan dalam kebijakan riil. Pengelola negara justru sibuk mengejar pesona dan popularitas.  Mereka bangga  menjadi pejabat meskipun lunglai menjalankan amanat.

Citra buruk agama dan juga Negara, antara lain terbentuk akibat kebebalan dan kepandiran para pemimpinnya. Agama hanya ditempatkan pada ranah privat dan dipisahkan dari kehidupan sosial. Sebaliknya, kebudayaan lebih diagung-agungkan, bahkan ditempatkan di atas agama. Kitab suci disembunyikan di kolong zaman dan baru dibuka ketika dibutuhkan. Keagungan agama hanya sebatas narasi dan belum menghiasi kehidupan.

Fragmen tragis itu selalu diputar ulang dari tahun ke tahun. Arus mudik dan arus balik menjadi fenomena klise yang mudah ditebak endingnya, sebatas memanjakan kenangan dan romantisme.Setelah sekian hari melepaskan diri dari hiruk-pikuk budaya metropolis, kita kembali menyusuri lorong hiruk-pikuk semula. Kembali menyaksikan wajah sosial yang buram dan penuh kenestapaan. Kembali menyaksikan ulah koruptor yang membuat negeri ini kotor. Kembali menyaksikan perlombaan menumpuk  pundi-pundi kemewahan. Kembali menyaksikan kemunafikan, kezaliman dan kemarahan.

Kemarahan begitu mudah meledak di tenga-tengah kehidupan sosial. Ironisnya, kemarahan massa beberapa hari lalu terjadi justru terjadi menjelang sidang isbat dan detik-detik penentuan hari H Idul Fitri. Fakta memalukan ini menjadi cermin lemahnya manajemen kehidupan keagamaan yang berujung pada kebingungan masyarakat. Di tingkat elit, perbedaan semacam itumemang menjadi hal biasa, tetapi bagi kalangan awam (grass root).  perbedaan menimbulkan friksi yang menegangkan. Perbedaan merupakan front dan dijadikan alasan saling melontar hujatan.  

Kematangan Moral

Sebutan hari kemenangan masih harus diuji di kemudian hari.  Siapakah sesungguhnya yang menang: iman ataukan nafsu, kesadaran ataukah kecongkakan. Kita hanya bisa menyaksikan fenomena permukaan, tetapi tak sanggup membedah urusan ruhani secara keseluruhan.   

Cendekiawan Muslim Dr Hidayat Nurwahid MA mengatakan, salah satu kemenangan yang seharusnya teraih adalah lahirnya kesadaran seorang Muslim meneruskan kebaikan yang telah ditumbuhkembangkan selama Ramadhan.  Kemampuan mengubah cara pandang bahwa puasa, zakat, dan Idul Fitri bukan sebatas rutinitas tahunan yang tanpa makna. Seharusnya menumbuhkan juga perubahan cara pandang, jalan kehidupan dalam beribadah dan bermuamalah.

Kemenangan hadir bila kita benar-benar merasakan kembali kepada Islam. Konsep kembali kepada Islam terlihat jika kita meneguhkan diri sebagai hamba Allah, menjadi pribadi mandiri, tidak berbuat jahat. sombong, semena-mena, korupsi, merusak lingkungan, melecehkan sesama manusia, dan melakukan kezaliman. Tidak menjadi arogan dan membuat jarak dengan orang-orang miskin.

Ukuran kemenangan adalah kematangan moralitas yang dilandasi iman. Menurut sebuah hadits, jika posisi kita hari ini lebih baik dari hari kemarin berarti kita tergolong orang yang beruntung. Jika hari ini sama dengan hari kemarin, maka  termasuk golongan yang rugi. Namun jika hari ini ternyata lebih buruk dari kemarin, maka masuk golongan yang celaka. Dan itulah tragika.

 

Kawe Shamudra, Anggota Majelis Tabligh

Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Batang


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : opini

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website