PDM Kabupaten Batang - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM  Kabupaten Batang
.: Home >

Homepage

Blunder Indonesia

HAEDAR NASHIR

BANGSA  ini seperti tengah mengalami kebuntuan, berkutat dalam masalah krusial yang sulit dicerna akal sehat. Bagaimana mungkin seorang yang hanya pegawai negeri sipil (PNS) golongan IIIC memiliki rekening sampai Rp 60 miliar?  Sementara  pengadilan kasus wisma atlet objektif, kita mungkin bisa dibikin ngeri bagaimana uang jutaan dollar atau miliaran rupiah  begitu mudah didapat para politisi, yang sebelumnya bukanlah siapa-siapa. Negeri ini sungguh menjadi tempat bancakan.

Uang besar-besaran yang seharusnya menjadi milik negara dengan leluasa masuk ke kantong sendiri atau kroni. Kita juga tidak paham betapa mudah uang-uang subhat dan haram dalam hitungan besar lalulalang di negeri ini, termasuk dalam berbagai pemilukada. Padahal jutaan warga bangsa di berbagai pelosok tanah air sungguh tragis hidupnya hanya untuk bisa bertahan hidup pada hari itu saja, yang tidak tahu persis keesokan harinya apakah masih bisa makan atau tidak.

Dalam logika sederhana, tidak mungkin seorang pegawai rendahan dapat leluasa melakukan penyimpangan besar-besaran jika melakukannya sendirian, jika  lingkungan tidak kondusif. Pasti kebiasaan menyimpangkan dana pajak atau uang yang seharusnya masuk ke kas negara itu dilakukan karena lingkungan dan sistemnya memberi ruang leluasa. Orang lalu berasumsi lanjutan, bisa dibayangkan bagaimana dengan pegawai-pegawai negeri tingkat tinggi?

Dalam kasus lain publik juga sulit mengerti bagaimana para elite wakil rakyat dan petinggi partai politik masih mau berkorupsi dan main uang negara besar-besaran padahal semestinya dengan penghasilannya yang besar itu sudah cukup. Banyak wakil rakyat yang berubah menjadi hartawan. Beredar kabar di antara para wakil rakyat itu pada memiliki perusahaan-perusahaan (fiktif?), seperti perusahaan-perusahaan yang banyak disebut dalam kasus Nazaruddin di persidangan.

Kita sulit memahami, apa yang ada di benak para wakil rakyat itu ketika memilih menjadi politisi. Apa politik itu memang jalan tol untuk lumbung uang selain tangga kekuasaan. Dulu di zaman permulaan partai politik lahir tahun 1950-an, para politisi pekerjaannya berdebat soal-soal krusial tentang bangsa, sampai Konstituante dibubarkan. Para politisi masa lalu dikenal idealis dan moralis, jauh dari korupsi dan kegerlapan. Sekarang malah jadi sorotan publik tak berkesudahan, bukan karena prestasi memperjuangkan nasib rakyat, tetapi urusan nasibnya sendiri.

Bagaimana mungkin kehidupan yang serba baik itu dapat dinikmati rakyat manakala para pegawai,  pejabat dan wakil rakyatnya maupun mereka yang bersentuhan dengan urusan negara tak sensitif dan bersungguh-sungguh memperjuangkannya. Sebaiknya malah mengkhianati cita-cita nasional, mengabaikan harapan rakyat, serta menyelewengkan uang dan kekayaan negara. Alih-alih melayani dan memperjuangkan kepentingan rakyat, malah menjarah milik negara dan rakyat. Cara menjarah dan menyelewengkan uang serta kekayaan negara itu bahkan sudah tidak masuk di akal, yang di negara lain boleh jadi tidak mungkin terjadi.

Di antara kita mungkin baru sadar, kenapa negara ini dalam standar Lembaga Transparasi Internasional selalu menempati tiga atau empa besar dalam hal korupsi di dunia bersama Nigeria, Somalia, dan Bangladesh. Ketika ranking  muncul setiap tahun, sering dianggap sebagai sentimen, tidak mencintai negara dan bangsa sendiri,  dan dianggap suka menjelekkan dan tidak ingin Indonesia besar. Namun baru menyaksikan ganasnya korupsi Gayus dan Dhana saja, plus kasus yang kini sedang gonjang-ganjing soal wisma atlet, rasanya julukan Indonesia sebagai negara sarang korupsi sungguh faktual. Bukan karangan.

Celakanya dalam menangani banyak kasus krusial yang menjarah uang negara itu seperti muter-muter tak tentu arah. KPK dianggap setengah hati, pengadilan banyak misteri dan keganjilan, pemerintah kehilangan arah, institusi hukum dan politik banyak digerogoti rayap predator. Sementara warga masyarakat pun banyak yang sudah terjangkiti wabah permisif, sikap serba boleh.

Akhirnya banyak masalah yang tak berujung-pangkal. Korupsi dan banyak persoalan bangsa mengendap menjadi karat, bahkan seperti lingkaran setan, tak jelas ujung dan pangkalnya karena rumitnya persoalan yang melibatkan sistem dan manusia yang sudah telanjur bobrok. Negeri ini sungguh telah disandera oleh tangan-tangan kotor yang gila kuasa dan harta, sekaligus predator. Akibatnya masalah  bukan kian susut dan terpecahkan, malah tambah rumit. Inilah blunder Indonesia!
 
Penulis adalah Sosiolog Fisipol UMY, Ketua PP Muhammadiyah
KEDAULATAN RAKYAT, 16/03/2012
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=141875&actmenu=45



Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website