PDM Kabupaten Batang - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM  Kabupaten Batang
.: Home > Artikel

Homepage

Maulid Nabi di Tengah Wabah Korupsi

.: Home > Artikel > PDM
06 Februari 2012 17:34 WIB
Dibaca: 2739
Penulis :

Kawe Shamudra

 

MAKNA apakah yang hendak kita petik dari peringatan maulid Nabi di tengah arus budaya korupsi yang kian deras ini? Perayaan  maulid Nabi setiap 12 Rabiul Awwal dilakukan sebagai ungkapan kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. 
 

Tradisi yang dipopulerkan  Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193) ini awalnya bertujuan membangkitkan semangat kaum muslimin dalam Perang Salib. Pada 1099, pasukan Kristen Eropa berhasil merebut Yerusalem dengan mengubah Masjid Al-Aqsha menjadi gereja. Sultan Shalahuddin menegaskan bahwa perayaan Maulid hanyalah untuk syiar Islam, bukan perayaan yang bersifat ritual.

 

Masyarakat Muslim di Indonesia umumnya menyambut maulid Nabi dengan membaca shalawat nabi, pembacaan syair Barzanji dan pengajian. Bahkan ada komunitas yang merayakan maulid Nabi dengan memainkan gamelan. Argumen yang dicetuskan biasanya “ingin” meneladani sifat Nabi yang sidiq (jujur), tabligh (transparan), amanah (dapat dipercaya) dan fathanah (cerdas). Namanya “Ingin” (dalam tanda petik) mengandung makna sebatas angan-angan atau retorika semu. 

 

Jika bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim benar-benar mampu meneladani sifat-sifat Nabi, dijamin negeri ini bakal aman tenteram. Rakyat bisa sejahtera karena kekayaan negeri yang melimpah ruah ini tidak dikorupsi.
Tetapi fakta berbicara lain. Praktik korupsi telah menjadi hal lumrah di negeri ini. Korupsi biasa dikerjakan oleh seseorang yang memiliki kedudukan. 

 

Tragisnya, masyarakat tanpa sadar telah mendukung korupsi dengan membiarkan, bahkan diam-diam ikut menikmatinya. Maka alih-alih menghormati (meneladani) Nabi, yang terjadi justru sebaliknya: mengkhianati dan menginjak-injak martabat Nabi. Para koruptor banyak yang mengaku Muslim, bahkan ada yang memakai nama Muhammad, tetapi perilakunya jauh dari keteladanan Nabi.

 

Korupsi merupakan bahasa pengkhianatan. Para ulama telah sepakat soal  korupsi dengan sebutan Ghulul, mengandung pengertian bahwa segala perbuatan yang menghianati amanat seperti penyalahgunaan wewenang, pemanfaatan berbagai fasilitas yang ada untuk kepentingan pribadi dan kelompok, termasuk kategori korupsi.

 

Korupsi juga disebut fasad karena berimplikasi pada kerusakan atau kerugian negara yang menghancurkan negara itu sendiri. Nabi Muhammad SAW menerangkan perbuatan korupsi dalam bentuknya yang komprehensif, yakni berkaitan dengan berbagai jenis kecurangan seperti penyuapan (risywah), penggelapan, gratifikasi, dan sebagainya.
 

Allah SWT dengan tegas melarang manusia memakan harta yang bukan haknya. "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dan pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (Al-Baqarah [2]: 188).
Tindakan Tegas

 

Nabi Muhammad SAW adalah contoh manusia ideal. Semua ucapan dan tindakannya mencerminkan kejujuran dan keluhuran budi. Nabi tak pernah menipu ummatnya dengan alasan apapun. Tetapi ironisnya, banyak orang yang mengklaim dirinya pengikut Nabi justru terhanyut dalam budaya korupsi.  Nabi disanjung setinggi langit, tetapi ajarannya diinjak-injak. Kejujuran dan keadilan tersingkir dari kehidupan. Akhirnya memunculkan dominasi keserakahan dan pemujaan kemegahan.
 

Nabi Muhammad SAW bukan figur angkuh dan koruptif meskipun memiliki kedudukan tinggi di tengah-tengah umat.  Beliau tidak silau oleh pangkat dan kekayaan. Berbeda dengan sifat orang biasa yang mudah mabuk dan takluk oleh bujuk rayu kemewahan dunia sehingga rela sikut sana-sini demi menumpuk kekayaan secara tidak halal.

 

Menurut Prof Dr KH M Abdurrahman MA,  korupsi merebak di Indonesia karena tidak adanya nilai-nilai spiritual dalam kehidupannya. Shalat, zakat, puasa, dan haji yang dikerjakannya sebatas praktik semata tanpa diimbangi dengan perbuatan nyata. Artinya, ibadahnya tidak mampu menghindarkan dirinya dari perbuatan dosa dan godaan duniawi.

 

Nabi Muhammad SAW adalah pelopor pemberantasan kejahatan, termasuk korupsi. Beliau tidak mentolerir segala bentuk kecurangan dan selalu tegas dalam menghadapi pejabat yang curang.  Rasulullah bersabda: "Setiap tubuh yang berkembang dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya," (HR Ahmad).   Dalam sabda lain juga disebutkan: "Sesungguhnya Allah itu Thaayyib (baik), tidak menerima (suatu amal) kecuali yang baik (halal)." (HR Muslim).

 

Ketegasan Nabi tidak terhenti pada lisan.  Beliau pun memiliki strategi pemberantasan korupsi dengan melakukan pemeriksaan kepada para pejabat setelah menjalankan tugas. Nabi tidak akan melindungi, menutupi, atau menyembunyikan para koruptor. Bahkan Nabi pun  melarang para sahabatnya (termasuk umatnya) menshalatkan jenazah koruptor karena telah mengkhianati saudara-saudaranya.

 

Di tengah-tengah sistem kehidupan yang korupsiini, esensi peringatan Maulid Nabi semestinya tidak terhenti pada kegiatan seremonia, tetapi perlu diiringi dengan transformasi nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan sebagaimana diajarkan Nabi. Meneladani Nabi tidak terhenti pada angan-angan, tetapi lewat tindakan nyata.

 

Sangat disayangkan jika seorang Muslim mengklaim dirinya menghormati Nabi, tetapi hanya sebatas ungkapan lisan, sementara dirinya  enggan berjihad melawan korupsi (kemunkaran).  Jihad melawan korupsi bukan hanya tugas aparat penegak hukum, tetapi tugas kita bersama. Sesama Muslim harus saling mengingatkan dan mencegahnya. Imam Bukhari meriwayatkan, "Al-Muslimu man salimal Muslimuna min lisanihi wa yadihi". Muslim itu ialah orang yang menyelamatkan Muslim lain dengan bahasa dan tangannya (perbuatannya).

Penulis anggota Majlis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Batang.
 


Tags: maulidnabi , korupsi , wabah
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : opini

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website