PDM Kabupaten Batang - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM  Kabupaten Batang
.: Home >

Homepage

BUSTANUL JANNAH (Potret Dakwah Akar Rumput di Ranting Proyonanggan Utara)


SAMBUTAN PDM BATANG

 

Assalamu’alaikum wr. wb.

 

Tidak ada yang pantas dilakukan dalam kesempatan yang baik ini selain mengungkapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan hidayah kepada kita sekalian. Tidak lupa shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada teladan kita Nabi Muhammad SAW, para sahabat dan pengikut-pengikut risalah beliau.

Atas nama Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Batang kami menyambut gembira penerbitan buku ini yang berisi perjalanan dakwah Muhammadiyah, khususnya di lingkungan Muhammadiyah Ranting Proyonanggan Utara, dengan mengambil latar belakang masjid Bustanul Jannah.

Apapun keadaannya, keberadaan masjid Bustanul Jannah merupakan sebuah monumen dakwah, yang di dalamnya tersimpan banyak aktifitas yang penuh makna. Masjid ini berdiri karena adanya sebuah desakan kebutuhan pentingnya pusat dakwah bagi Muhammadiyah di Batang. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa selama ini aktivitas Muhammadiyah di Batang terpusat di kompleks masjid ini.

Sebuah masjid menyimpan nilai-nilai kearifan, sebagai basis pembinaan ummat. Masjid sebagai pusat aktifitas spiritual yang diharapkan dapat memancarkan semangat dan aura beribadah bagi para jamaah di sekitarnya.

Buku ini tidak semata-mata menbedah peristiwa yang telah lewat dan terjadi pada seputar pendirian masjid. Juga tidak semata-mata memuat data-data fisik, tetapi juga menyelipkan pesan-pesan reflektif, bahwa di balik berdirinya masjid Bustanul Jannah, ada sesuatu yang melatarbelakanginya. Ada hal-hal yang menggerakkan hati sekelompok orang untuk bergerak dan berbuat sesuatu secara ikhlas.

Dalam realitas sejarah, di mana-mana, masjid dibangun sebagai media dakwah. Semenjak jaman Nabi, sahabat, tabi’in dan seterusnya, pendirian masjid bertujuan untuk pembinaan ummat sekaligus simbol persatuan akidah dan kehidupan spiritual.

Bustanul Jannah adalah awal sebuah cita-cita. Para pendirinya berharap, ini bukan sekadar nama sebuah masjid, tetapi di dalamnya ada semangat (cita-cita) untuk menggapai sesuatu. Bustanul Jannah menjadi semacam ikon perjalanan dakwah dalam sebuah komunitas Muhammadiyah.

Cita-cita membentuk sebuah ”kebun” yang bisa mengantarkan ke surga adalah menjadi tanggung jawab setiap muslim. Cita-cita semacam itu akan selalu aktual dan tidak lekang oleh waktu. Dan untuk benar-benar menjadi sebuah kebun yang ideal, tentunya tidak cukup hanya dilakukan generasi sekarang, tetapi perlu diteruskan oleh generasi mendatang.

Buku ini merupakan kilasan sejarah dan denyut dakwah Muhammadiyah di Proyonanggan Utara dengan segala sisi keterbatasannya. Dan dilengkapi juga profil Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah (MTsM) Batang dari masa-masa awal berdiri sampai perkembangannya menjadi sebuah lembaga pendidikan yang dipercaya masyarakat.

Mudah-mudahan terbitnya buku ini dapat memberi kontribusi yang berarti serta mampu menggugah semangat juang bagi generasi mendatang untuk melanjutkan cita-cita para pendahulunya. Semoga Allah SWT meridhoi langklah ini, amin.

Billahittaufiq wal hidayah, nasrun minallah wa falhun qorieb. Wassalamu’alaikum wr. wb.

Batang, Mei 2010

Drs. H. Nasikhin

 

 

SAMBUTAN PCM BATANG

 

Assalamu’alaikum wr. wb.

 

Puja dan puji syukur kami sampaikan kepada Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan hidayah kepada kita sekalian. Shalawat dan salam mudah-mudahan selalu tercurah kepada panutan kita Nabi pungkasan, Muhammad SAW, para sahabat dan segenap kaum muslimin.

Kami atas nama Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kecamatan Batang menyambut gembira atas terbitnya buku berisi perjalanan dakwah Muhammadiyah, khususnya di lingkungan Muhammadiyah Ranting Proyonanggan Utara, dengan mengambil latar belakang masjid Burtanul Jannah.

 Masjid Bustanul Jannah  berdiri atas inisiatif warga Muhammadiyah yang pembangunannya dimotori oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Batang dan setelah selesai pembangunannya, pengelolaannya diserahkan kepada Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Proyonanggan Utara. Dan di kompleks itu pula berdiri gedung Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah (MTsM) yang baru. Insya Allah di kompleks itu juga akan dibangun pusat kegiatan Muhammadiyah Cabang Batang. Semoga Allah memberi pertolongan kepada kami.

Dan terbitnya buku ini  merupakan kontribusi positif bagi persyarikatan Muhammadiyah, khususnya di Batang, mudah-mudahan menjadi sumbangan berharga dalam rangka mengembangkan dakwah amar makruf nahi nunkar.

Billahittaufiq wal hidayah, nasrun minallah wa falhun qorieb. Wassalamu’alaikum wr. wb.

Batang, Mei 2010

H. Asrori, AMa

 

KATA PENGANTAR

 

Alhamdulillah puji syukur hanya ditujukan kepada Allah SWT atas perkenan dan ijin-Nya, penulisan buku Profil dan Sejarah Masjid Bustanul Jannah Proyonanggan Utara Batang bisa terlaksana sesuai rencana setelah mengumpulkan data selama kurang lebih satu tahun. Atas prakarsa berbagai pihak, penelusuran dan penggalian informasi berjalan tanpa kendala. Sejumlah Nara Sumber yang kami hubungi bisa memberikan keterangan dan data-data yang valid karena semuanya merupakan saksi sejarah yang tidak diragukan kiprahnya dalam mobilisasi dakwah Muhammadiyah, khususnya di Batang.

Satu kejadian yang cukup mengharukan, beberapa nara sumber yang hendak kami hubungi terpaksa harus diurungkan karena berhalangan. Bapak H. Sutrisno Kaliri misalnya, saat proses penyusunan buku ini berlangsung, beliau meninggal dunia. Namun beberapa bulan sebelumnya (Maret 2009) beliau telah menulis surat wasiat yang ditujukan kepada segenap jajaran pimpinan Muhammadiyah se-Kabupaten Batang yang berisi kesan dan pesan-pesan terakhir selaku Ketua Majelis Wakaf dan ZIS Daerah Muhammadiyah Kabupaten Batang.  Sesepuh Muhammadiyah lainnya yang meninggal dunia sebelum buku ini terbit adalah Bapak Muhammad Rochim. Saat diwawancarai di kediamannya akhir 2009 beliau masih tampak segar bugar. Dengan penuh semangat ahli bangunan ini menceritakan suka-dukanya ikut merintis berdirinya Gedung Pendidikan Muhammadiyahh di Batang bersama tokoh-tokoh lainnya. Tidak menduga awal Mei 2010 “Mbah Rohim” – demikian sapaan akrabnya – dipanggil Allah SWT. Kejadian tersebut semakin meneguhkan tekad kami untuk menerbitkan buku ini sebagai media untuk mengenang jasa-jasa para pendahulu.

Penyusunan buku semacam ini cukup penting sebagai upaya pendokumentasian data dan peristiwa yang terserak. Ini merupakan langkah awal untuk merekonstruksi aktivitas dakwah Muhammadiyah dalam lingkup paling bawah (ranting) sebagai upaya mewariskan semangat dari aktifis dakwah para pendahulu agar diketahui oleh generasi-generasi berikutnya. Sehingga, sekecil apapun aktifitas dakwah yang dilakukan sebuah komunitas semacam Muhammadiyah bisa dibaca oleh generasi mendatang. Harapannya para kader dan simpatisan Muhammadiyah tidak kehilangan jejak dengan masa lalu. Minimal mereka bisa bercermin dari apa yang pernah dilakukan orang-orang dahulu, sehingga alur dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah tidak terputus di tengah jalan.

Meskipun belum banyak yang bisa dilakukan PRM Proyonanggan Utara, tetapi kami merasa perlu menyusun buku ini. Dan memang terlalu dini untuk menyebutnya sebagai sejarah, karena rentang perjalanan waktu yang belum begitu jauh. Tetapi tidak ada salahnya sebuah peristiwa ditulis dan dibukukan sedini mungkin agar data-data yang ada tidak hilang atau terlupakan.

Buku ini masih banyak menyimpan kekurangan di sana-sini, karenanya kami sangat mengharapkan masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan pada penerbitan-penerbitan berikutnya. Semoga Allah SWT memberi kemudahan bagi kita. Amin.***

 

Batang, Mei 2010.

 

( Bagian 1 )

BANGKIT MELAWAN KETAKUTAN

 

Bagaimanakah sebuah masjid bisa dibangun di atas lahan yang oleh warga sekitar dianggap angker dan menakutkan? Inilah tantangan awal pembangunan masjid Bustanul Jannah Proyonanggan Utara, Batang. Yang ada dalam benak panitia adalah semangat membangun Rumah Allah. Masjid harus berdiri, apapun resikonya, meskipun belum ada dana memadai. Tekad itu sudah membulat dan melahirkan semangat yang menyala-nyala.

Selain itu muncul pula semangat untuk melawan rasa takut yang bukan pada tempatnya, yakni ketakutan pada hantu dan jenis makhluk halus lainnya yang notabene sama-sama makhluk Tuhan.

Boleh dikatakan masjid Bustanul Jannah dibangun dengan semangat ingin membebaskan masyarakat dari rasa tidak aman lantaran lemahnya akidah dan mudah dipengaruhi oleh cerita-cerita mistik yang tidak jelas asal-usulnya.

Kebetulan, lokasi masjid dulunya merupakan lahan kosong penuh semak belukar dan kotor. Meskipun di dekatnya sudah ada bangunan sekolah, tetapi di sekitarnya masih ditumbuhi aneka pepohonan. Sesuai nama desanya, Kebonan, suasananya memang masih banyak kebun kosong tidak terawat.

Menurut cerita sejumlah warga setempat, di lahan dekat makam itu meskipun ada jalan kecil, tetapi kalau menjelang sore dan malam hari orang merasa miris kalau melewatinya. Ini terkait peristiwa meninggalnya salah seorang warga setelah gantung diri. Masyarakat percaya, di tempat itu dihuni makhluk halus. Ditambah lagi dengan rumor-rumor mistis yang beredar dari mulut ke mulut semakin menguatkan imajinasi orang tentang keadaan yang menyeramkan. Akibatnya, warga menjadi terbelenggu daya nalarnya dan dihantui ketakutan yang berlebihan pada sosok yang tak jelas. Mereka lebih takut pada daya-daya khayal yang diciptakannya sendiri, melebihi rasa takutnya kepada Allah SWT, penguasa jagad raya.

Untuk mendobrak ideologi klenik semacam itu Muhammadiyah Ranting Proyonanggan Utara memiliki konsep yang cukup strategis dengan mengikisnya secara perlahan-lahan terhadap pemikiran khayal tersebut dan diarahkan dengan penalaran agama. Tidak ada cara lain kecuali merubah kondisi fisik lingkungan yang semula dikesankan angker menjadi tempat yang banar (menenangkan).

Maka tercetuslah ide membangun masjid di tempat angker itu dengan sebuah asumsi bahwa dengan adanya masjid, diharapkan suasana akan berubah ramai karena dipenuhi jamaah. Harapannya, selain sebagai tempat shalat, masjid juga dijadikan sebagai pusat dakwah menyebarkan ajaran Islam. Masyarakat dididik untuk mengenal ajaran Islam secara mendalam sehingga diharapkan mampu menangkal ketakhayulan dan kesyirikan, seperti yang sudah menjadi jargon dakwah Muhammadiyah selama ini, yakni pemberantasan Takhayyul, Bid’ah dan Churafat (TBC).

Berkat ridha Allah SWT, lahan kumuh tersebut oleh pemiliknya, yakni Bapak Mahmud Yunus bin KH Abdul Lathif  diserahkan pada Muhammadiyah. Sejak awal Pak Yunus memang memang sudah memiliki niatan mulia untuk mewakafkan sebidang tanah miliknya seluas  660 m2 untuk kemaslahatan ummat. Tanah tersebut, separo dibeli dan sisanya diwakafkan.

Pembangunan benar-benar dilaksanakan dari nol. Panitia berusaha mencari dana dengan melakukan berbagai terobosan, antara lain menggelar pengajian akbar dan mengajukan proposal bantuan ke PP Muhammadiyah dan  tahun 1992 bantunan dana turun. Dana tersebut digunakan sebagai modal awal membangun masjid. Peletakan batu pertama dihadiri oleh Bapak KH. Ahmad Dimyati dari PP Muhammadiyah Majlis Tabligh.

Sebelumnya dalam rangka penggalangan d ana juga diselenggarakan pengajian akbar dengan menghadirkan pembicara Hj Sitoresmi. Melalui langkah-langkah semacam itulah akhirnya menumbuhkan simpati dan kepercayaan masyarakat luas. Mereka pun akhirnya terketuk hatinya dan rela membantu mengulurkan bantuannya atas dasar kerelaan masing-masing.

Dalam waktu tidak begitu lama, proses pembangunan pun dilakukan. Panitian dibentuk dan diketuai oleh Bapak HM. Harto Setiyono, BA. Pada tanggal 5 Dzulhijjah 1412 H/ 6 Juni 1992 dibuatlah nota kesepakatan pembangunan masjid Bustanul Jannah dengan dana sebesar Rp. 17 juta yang ditandatangani Ketua PCM Batang, Bapak Slamet Mashal (alm) yang diketahui oleh PWM Jawa Tengah yang pada saat itu diketuai Bapak H. Midchal, BA.

Masjid Bustanul Jannah selesai dibangun tepat waktu, dengan dana total Rp 52 juta. Dan dalam perkembangan kemudian masjid tersebut benar-benar menjadi pusat aktifitas dakwah bagi Muhammadiyah Ranting Proyonanggan Utara dan perlahan-lahan ideologi takhayyul seputar hantu dan penampakan mulai terkikis. Masyarakat lebih terbuka cakrawala berpikirnya, dan tidak lagi didominasi alur pemikiran mistik yang menyesatkan.

Kini sudah tidak terdengar lagi kisah-kisah menyeramkan, dan masyarakat tidak lagi dihantui rasa takut melintasi kawasan ini. Apalagi setelah di dekat masjid dibangun Madrasah yang menambah semarak suasana. ***

 

 

 

( Bagian 2)

SHALAT ID PERTAMA

DI LAPANGAN

 

          Inilah sekelumit kisah bagaimana para kader Muhammadiyah (yang jumlahnya sedikit) berjuang untuk menyelenggarakan shalat Ied di lahan terbuka yang terjadi pada era 1990-an. Mereka berusaha membangun gebrakan awal untuk menggerakkan masyarakat.

Pada saat itu, setidaknya bagi warga Batang dan sekitarnya, shalat id di tempat terbuka belum begitu membudaya. Bukan lantaran masyarakat tidak mau melaksanakan ajaran sunnah atau tidak mengerti agama, tetapi memang belum ada pihak yang mengawali.

          Saat itu, menggelar shalat id di lapangan merupakan sebuah gebrakan yang dianggap nyleneh oleh masyarakat umum. Tetapi bagi yang mengetahui dasar hukumnya tidak menjadi masalah. Justru malah merasa gembira karena selain bisa melaksanakan ajaran sunnah Rasul, juga bisa mengambil hikmah di dalamnya, sekaligus menjawab realitas sosial yang ada dalam masyarakat, utamanya soal keterbatasan tempat shalat (mushalla/ masjid) di lingkungan Proyonanggan Utara.

          Harus diakui bahwa di kelurahan Proyonanggan  Utara saat itu hanya terdapat beberapa mushallah/ masjid, yang tidak mungkin bisa menampung seluruh jamaah. Ada alasan kuat mengapa shalat Id di lapangan perlu dibudayakan. Bahwa warga Proyonanggan Utara yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan itu tidak semuanya rajin ke mushalla. Kalau shalat id hanya diikuti jamaah yang biasa ke masjid, maka tentu sangat sedikit. Bahkan boleh jadi, orang yang tidak biasa menginjak mushalla akan merasa malu naik mushalla. Padahal mereka sangat ingin merayakan Hari Raya dan melaksanakan shalat meskipun hanya bersifat tahunan.

          Fakta demikianlah yang menjadi bahan pemikiran bagi para pengurus ranting Muhammadiyah Proyonanggan Utara untuk merumuskan strategi dakwah yang membumi dan menyentuh hati masyarakat.

          Celah-celah semacam itu tampak sederhana, tetapi perlu dijalankan untuk menggiring masyarakat agar mau menjalankan shalat. Bisa dikatakan,  inilah model dakwah yang aspiratif dan langsung menjawab kebutuhan masyarakat.

          Salah satu karakteristik masyarakat Proyonanggan Utara yang bisa diamati saat itu adalah bahwa mereka pada prinsipnya masih bersahaja dalam hal berpikir maupun bertindah, apalagi menyangkut pemahaman keagamaan. Artinya, mereka gampang diajak kompromi dan diarahkan untuk hal-hal yang baik, tergantung dari siapa yang berada di depan (pemimpin).

          Kenyataan tersebut bisa terbaca lewat pelaksanaan shalat id di lapangan. Pertama kali digelar, jamaahnya cukup banyak. Warga menerimanya tanpa protes apapun, malah mereka  tampak begitu antusias membantu mengurus perlengkapan.

          Keberhasilan tersebut juga tidak lepas dari kerja sama yang kompak antara segenap pimpinan ranting dan upaya pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Pengurus tidak bekerja sendirian dan secara intensif melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh setempat seperti aparat desa.

          Peran perangkat desa tidak bisa diabaikan, terutama ketua RT/ RW. Kebetulan yang jadi ketua RW pada  saat itu, yakni Bapak Nurhadi Susilo, BA (alm),  termasuk sosok  yang cukup aspiratif dan mau memahami kebutuhan masyarakat. Dibuktikan, ketika panitia mengajukan ijin mengadakan shalat Id di lapangan, beliau langsung tanggap dan mengijinkan. Ketika pendekatan tersebut berhasil, masyarakat pun dengan mudah mengikuti di belakangnya.

          Selanjutnya, pelaksanaan shalat id di lapangan menjadi rutinitas tahunan yang diterima warga muslim setempat, bahkan ditunggu-tunggu. ***

 

 

( Bagian 3 )

ANTARA KUBURAN

DAN KEBUN SURGA

 

Keberadaan masjid Bustanul Jannah tidak lepas dari latar belakang masyarakat yang masih diliputi pemikiran mistis. Lahan yang semula dianggap angker oleh sebagian warga pun berubah menjadi tempat bersujud.

Pemberian nama Bustanul Jannah tidak terlepas dari nilai-nilai filosofi sebuah masjid. Pencetus nama ini adalah Bapak HM. Harto Setiyono, BA. Usulan nama terebut mulanya ada yang tidak menyetujuinya, tetapi akhirnya dengan argumen yang masuk akal, nama Bustanul Jannah dipakai juga.

Bustanul Jannah yang berarti “Kebun Surga” sesungguhnya merupakan ungkapan yang penuh makna (simbol), juga sekaligus doa. Harapannya, kelak di lingkungan masjid tersebut benar-benar bisa menjelma menjadi sebuah taman indah yang dapat mengantarkan jamaah menjadi penghuni surga (jannah).

Sebuah ajakan mulia pada segenap kaum muslimin, sekaligus mengingatkan bahwa setelah hidup di dunia, ada alam lain yang menampung nasib manusia di hadapan Sang Khalik, apakah kita tergolong orang-orang yang beruntung atau celaka di akhirat.

Masjid Bustanul Jannah yang berdekatan dengan kuburan juga mengandung isyarat bahwa sadar atau tidak, para jamaah hampir setiap saat diingatkan akan datangnya kematian yang tidak bisa ditolak. Melalui gambaran fisik saja sudah jelas, tiap kali seseorang melintasi lingkungan masjid itu akan melihat nisan-nisan berjejer dan di dalam tanah bersemayam jasad-jasad manusia yang  lebih awal dipanggil ke haribaan Ilahi.

Ini merupakan peringatan dan pelajaran harian yang bisa dijadikan bahan renungan. Dan inilah salah satu sisi unik masjid Bustanul Jannah. Meskipun berada di kawasan tidak begitu ramai (tengah-tengah permukiman penduduk) tetapi mampu menghadirkan aroma spiritual yang kental.

Jarak antara masjid dengan kuburan seolah mengisyaratkan bahwa jarak antara hidup dan mati tidak begitu jauh, hanya berseling jumlah usia manusia yang tidak seberapa.

Bahkan bagi para jamaah yang jeli bisa mengambil pelajaran melalui gaya arsitekturnya. Bangunan masjid Bustanul Jannah yang dirancang oleh Bapak Mochamad Rochim itu sengaja meniru masjid  kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Beliaulah yang mengurusi segala sesuatu berkenaan dengan pembangunan, termasuk mengkoordinir para dermawan yang ingin menginfaqkan hartanya

Hampir semua srsitektur masjid mengandung makna yang sama, yakni sebagai simbol pendekatan dan penghambaan manusia kepada yang Maha Kuasa. Bangunan kokoh yang dirancang melambangkan fungsi masjid dalam membentuk keimanan masyarakat yang kuat dan mampu menampung jamaah shalat lebih besar. Masjid juga

mempunyai persepsi vertikalisme menuju satu titik diatas sebagai simbol hubungan antara manusia dan Tuhannya (Hablumminallah) disamping merupakan simbol perjalanan hidup manusia (sebagai hamba Allah) dalam tiga alam yaitu alam rahim, dunia dan akhirat.

Selain itu, sebuah bangunan, apalagi bangunan yang mempunyai nilai-nilai historis, maka di dalamnya juga memiliki  makna tentang maksud dan tujuan bangunan itu didirikan (Konsep Filosofis). Hal ini agar  bangunan itu mempunyai karakter atau cerminan tersendiri di sekitar tempatnya berada.

Di dunia arsitektur telah dikenal sebuah konsep untuk bangunan-bangunan yang direncanakan untuk jangka panjang, sebaiknya memenuhi kriteria Fron follow the function atau bentuk  mengikuti fungsi.

Masjid sebagai tempat ibadah kepada Allah harus bisa mengesankan ekspresi yang kuat di kala berdoa. Untuk itu  struktur bangunan dibuat menonjol seperti layaknya tangan manusia yang menengadahkan tangannya di kala berdoa kepada Allah Azza Wajalla. Pintu utama didesain sedemikian rupa agar jamaah waktu memasuki Ruang Utama Masjid (rumah Allah) sebaiknya tidak bersikap Sombong.

Yang harus memakmurkan Masjid  adalah Manusia. Manusia terdiri dari empat unsur yakni: tanah yang dimaknai dengan warna hitam; air dimaknai dengan warna kuning; api dimaknai dengan warna merah dan udara dimaknai dengan warna putih.

Bangunan fisik didominasi warna coklat dan putih. Coklat adalah warna tanah yang mengingatkan manusia berasal dari tanah, sedangkan warna putih bermakna kesucian mengingatkan tentang nilai kesucian yang perlu dijaga sepanjang masa. Dan diharapkan dalam hidup manusia selalu mengingat masjid (senantiasa menjaga kedekatan dengan Allah) untuk memelihara kesucian lahir batin. ***


(Bagian 4)

MENGGESER KEMAKSIATAN

DENGAN IMAN

 

Satu lagi yang melecutkan semangat dakwah di Proyonanggan Utara adalah adanya penyakit masyarakat yang merisaukan warga. Dan sudah bukan rahasia lagi bahwa di lingkungan Proyonanggan Utara pada era 1990-an dikenal sebagai “area gelap”, tempat orang-orang mabuk.Tidak ada cara untuk menggeser kemaksiatan ini kecuali dengan membangun pondasi keimanan bagi warga sekitar.

Menyadari akan bahaya minuman keras (miras) terhadap kehidupan, segenap aktivis dakwah berusaha menangkal kebiasaan buruk itu dengan pendekatan agama. Dakwal melalui jalur pendidikan dirasa cukup efektif untuk membuka kesadaran masyarakat.

Bahkan keberadaan masjid dengan segala dinamikanya ternyata memiliki andil besar dalam menggeser kecenderungan mabuk-mabukan tadi. Praktik kemaksiatan yang semula dilakukan secara terbuka tanpa malu-malu, perlahan-lahan jadi hilang. Para penenggak minuman haram tersebut akhirnya merasa risih sendiri.

Ternyata masjid juga berfungsi efektif untuk membenahi mental masyarakat. Kharisma masjid dirasakan membias pada lingkungan sekitar. Para pemabuk akhirnya menyadari ketidak-etisan berbuat maksiat di dekat tempat ibadah.

Dakwah menggeser mabuk-mabukan tidak harus dilakukan secara konfrontatif, melainkan bisa juga melalui pendekatan lingkungan dan secara tidak langsung mengajak masyarakat berperilaku positif demi menjaga nama baik lingkungan.

Kalau dahulu Proyonanggan Utara dikenal sebagai kawasan keruh yang berbau tak sedap, maka kini namanya sudah mulai harum. Dan masyarakat bisa merasakan sendiri dampak positif kehadiran Muhammadiyah dengan gerakannya yang membumi.

Shalat berjamaah di masjid menjadi media yang cukup efektif untuk membimbing masyarakat (jamaah) agar memiliki dan merasakan spirit keagamaan. Hal tersebut tidak lepas dari peran sejumlah imam masjid. Pada masa-masa awal, yang aktif menjadi imam di masjid Bustanul Jannah adalah Bapak Slamet Mashal dan Bapak Suwardi. Adapun yang menjadi khatib pada shalat Jumat antara lain  Bapak Drs. Sholohin Hayat, Bapak Slamat Mashal, Bapak Suwardi PGS, Bapak Waluyo, Bapak Takhril dan Bapak S. Abdul Karim.

Dengan jiwa ikhlas dan ketelatenan yang mendalam mereka berusaha memakmurkan masjid bersama jamaah. Menggugah masyarakat agar memiliki semangat ibadah untuk merubah keadaan sekeliling menjadi lebih baik. ***

 

 

 

 

 

                                            ( Bagian 5 )

MADRASAH, TEMPAT MENDEDAH

KADER MUHAMMADIYAH

 

Dalam perkembangan berikutnya masjid Bustanul Jannah semakin menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah kebun (taman) ketika berdampingan dengan bangunan Madrasan Tsanawiyah Muhammadiyah (MTsM) sebagai tempat menyemai bibit-bibit kader yang kelak diharapkan dapat menerima estafet kepemimpinan.

Berdirinya MTsM tidak lepas dari peran sejumlah tokoh (aktivis Muhammadiyah dan Aisyiyah). Pada tahun 1959 berkumpullah sejumlah tokoh antara lain Ibu Chikmah Mohamad, Ibu Chamim Thoha, Ibu Pardijo, Mochamad Soeprapta. Mereka menggelar rapat intern membicarakan persoalan ummat. Pada saat itu warga Muhammadiyah masih berjumlah belasan orang antara lain Bapak Mochamad Soeprapta dan didampingi sejumlah nama antara lain Bapak Mawardi (alm), Bapak Soewartoyo (alm), Bapak Achmad Barowi (alm), KH. Abdul Lathif dan tokoh-tokoh lain.

Dari pembicaraan tersebut, terbentuklah Pimpinan Cabang Muhammadiyah Batang terdiri dari 11 orang yaitu: Bapak H. Chamim Thoha (alm) selaku PDM dan anggota, Bapak Slamet Mashal (alm), Bapak Mawardi (alm), Bapak M. Kaprawi, Bapak Mubin Sanusi (alm), Bapak Fadholi (alm), Bapak Nachmud Yunus (alm), Bapak Moch. Rochim (alm), Bapak Suardi PGS, Bapak Chumaidi (alm), dan Bapak S. Abdul Karim (alm).

Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Batang sudah dilantik di gedung Kabupaten (sekarang pendopo) oleh Bapak Abdul Kadir dari Pekajangan. Saat itu Batang masih masuk wilayah Karesidenan Pekalongan.

Lewat pengajian dan kursus-kursus yang diselenggarakan di gedung kabupaten, Muhammadiyah Batang mulai menampakkan bentuknya sebagai sebuah gerakan dakwah, meskipun untuk memasang papan nama masih menemui sejumlah kendala. Selain menyelenggarakan pengajian yang diisi oleh Bapak Mochamad Zaini, di gedung kabupaten juga diselenggarakan shalat Jumat. Dan di tempat itulah warga Muhammadiyah Batang menyelenggarakan ibadah shalat Jumat yang pertama kalinya.

Seiring dengan perjalanan organisasi Muhammadiyah, segenap pimpinan Muhammadiyah Kecamatan Batang berfikir ke depan untuk memikirkan regenerasi melalui wadah yang resmi, sesuai kaidah organisasi, bahwa apabila Muhammadiyah ingin mendiriksn sekolah sebagai tempat pengkaderan harus berdiri terlebih dahulu sebuah madrasah (sekolah).

 Dan yang cukup menggembirakan, tidak lama kemudian ide tentang sekolah Muhammadiyah mulai diwujudkan dengan mendirikan Pendidikan Guru Agama Muhammadiyah (PGAM) sebagai embrio berdirinya Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Batang.

Semenjak tangal 1 Januari 1975, bersamaan diterbitkannya SKB Tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri) maka PGA dilebur menjadi Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah.

. Meskipun belum memiliki gedung, para pengurus berani membuka pendaftaran calon siswa dan Alhamdulillah ada sekitar 9 siswa yang mendaftarkan diri. Mereka akhirnya ditampung dan proses belajar mengajar berlangsung dengan meminjam gedung TK Aisyiyah Kauman selama kurang lebih 4 tahun. Kemudian pindah di Gedung Pendidikan Muhammadiyah Tampangsono Kauman dari tahun 1979 s/d 2001 yang saat itu bersamaan dengan Madrasah Aliyah Muhammadiyah dan akhirnya sekarang menetap di Jl. Yos Sudarso Gg. Progo No. 122/2 atau di Kompleks Masjid Bustanul Jannah RT 01/ RW IV Kebonan, Proyonanggan Utara Kecamatan Batang.

. Anak didik terpaksa bersekolah di gedung yang sederhana dengan sarana-prasarana terbatas: tempat duduk menggunakan kursi kecil. Sejumlah murid mengaku sempat minder karena sering diledek oleh murid-murid dari sekolah lain.

Bangunan fisik yang cukup gagah saat ini dapat terwujud lewat rintisan yang panjang. Para pengampunya berjuang penuh dedikasi untuk membesarkan sekolah ini.

Kita tidak bisa melupakan jasa-jasa para pendiri dan pengelola pada masa-masa awal, ketika MTsM mulai dirintis. Sejulah nama yang ikut “babat alas” saat itu antara lain Bapak Mubin Sanusi (alm) Bapak SA Karim (alm), Bapak Mochamad Rochim, Bapak Achmad Barowi (alm), Bapak HR. Soeprapta, Bapak Kafrawi, Ibu Umalichah, Bapak HM. Harto Setiyono, BA.

          Pejuang lain di lingkungan Muhammadiyah Batang yang tidak diragukan dedikasinya dalam mempertahankan keberadaan M Ts M adalah Bapak H Sutrisno Kaliri (alm), dimana beliau benar-benar mencurahkan segala kemampuannya demi terwujudnya bangunan gedung pendidikan Muhammadiyah di kota Batang. Tidak jarang  Bapak Chaliri harus mensubsidi kekurangan dana operasional sekolah ini selama kurang lebih tiga tahun. Pemasukan uang dari anak-anak didik waku itu hanya Rp. 550.000 sementara pengeluaran tiap bulan untuk keperluan kantor dan pemberian honor guru mencapai Rp. 795.000 (tujuh ratus sembilan puluh lima ribu rupiah).

Perjuangan mereka tidak boleh dianggap remeh, bukan saja dalam hal mengusahakan bersirinya bangunan fisik, tetapi bagaimana harus mengelola sebuah lembaga pendidikan yang baik sehingga bisa dipercaya masyarakat, sesuai dengan tujuan pendidikan Muhammadiyah: Membentuk manusia muslim yang beriman, bertaqwa, berakhlaq mulia, cakap, percaya pada diri sendiri, berdisiplin, bertanggungjawab, cinta tanah air, memajukan dan memperkembangkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, dan beramal menuju terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridlai Allah Subhanahu Wata’ala (Bab I Pasal 3 Qoidah Dikdasmen Muhammadiyah  Tahun 1998 ).

          Selain itu, pendidikan Muhammadiyah juga selaras dengan tujuan Pendidikan Nasional: mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME, dan berbudfi pekerti luhur, memilkiki pengetahuan dan nketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tangungjawab lemasyarakatn dan kebangsaan. (UUPN No.2 Th 1989 Bab II Pasal 4 ).

          Perjuangan untuk mewujudkan cita-cita luhur semacam itu tidak serta-merta memperoleh dukungan dari masyarakat. Dahulu, keputusan orang tua untuk menyekolahkan anaknya di MTsM barangkali dianggap bodoh. Di era 80-an, sekolah ini dianggap sebagai pilihan terakhir, yang menampung anak-anak buangan dari sekolah negeri.

Belum lagi adanya stigma minir dari warga masyarakat yang menganggap remeh organisasi Muhammadiyah. Dan harus diakui bahwa warga Muhammadiyah di Batang saat itu jumlahnya sangat sedikit dan hanya bisa dihitung dengan jari. Hal ini dapat dilihat dari jumlah mereka yang mengikuti pengajian selapanan di Gedung Pendidikan Muhammadiyah (sekarang MAM dan SMK).

Ada kisah menarik berkenaan dengan semangat juang para pengelola MTsM saat itu, yang dengan segala keterbatasannya menyelenggarakan proses belajar mengajar.

Bagaimana kesabaran para guru dalam mengajar beberapa gelintir murid dengan sarana dan prasarana yang terbatas.

Bahkan di tahun 1980-an siswa/siswi MTsM harus rela sekolah sore karena pagi hari gedung digunakan untuk MAM. Sebuah kenyataan yang cukp melelahkan tentunya, di saat fisik anak-anak maupun para guru terasa lelah mereka harus sekolah. Apapun kenyataannya, sekolah sore menjadi satu-satunya pilihan yang tidak bisa ditolak.

MTsM yang saat itu statusnya masih terdaftar berusaha memberikan layanan pendidikan yang memadai dengan menitikberatkan sisi keagamaan. Ketika layanan pendidikan berbasis keagamaan di Batang masih minim, MTsM berusaha tampil dengan kebersahajaan tetapi penuh kesungguhan, meskipun dengan menghadirkan tenaga pendidik paruh waktu. Pagi hari para guru mengajar di sekolah lain, sementara sorenya mengajar di MTsM. Mereka antara lain Bapak Kafrawi, Bapak Gudharonie, Bapak Sudama HS, Bapak Sahuri, Bapak Achmad Barowi, Ibu Umalichah, Bapak Supardjo, Bapak Subaryanto, Bapak Tri Budiyanto, Bapak Subangun, dan lain-lain.

Lantas buah apa yang kemudian bisa dipetik dari etos juang semacam itu? Perlahan-lahan MTsM mulai mendapat tempat di hati masyarakat. Ibarat emas, kadarnya meningkat dan mulai diperhitungkan.

Kurikulum yang digunakan MTsM adalah kurikulum dari Departemen Agama dan Dinas Pendidikan dengan mata pelajaran Agama dan Umum. Pendidikan Agama: Fiqih, Aqidah Akhlak, Bahasa Arab, Sejaran Kebudayaan (Sejarah Islam), Al Qur’an Hadits. Adapun Pendidikan Umum meliputi: Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, PKn, Bahasa Inggris, Bahasa Jawa, Pendidikan Seni, Penjaskes, Pengembangan Dilengkapi pula dengan muatan lokal Pendidikan Keterampilan dan Kemuhammadiyahan.

Setelah MTsM berjalan warga merasa lega sehingga banyak yang menitipkan putra-putrinya untuk dididik di dalamnya karena waktu itu merupakan sekolah agama yang berdiri paling awal di Batang. Masyarakat tahu bahwa pendidikan yang diajarkan adalah 70% Pendidikan Umum dan 30% Pendidikan Agama. Sampai sekarang keberadaan MTsM sudah sederajat SMP, bahkan bias disebut SMP Plus karena memiliki kelebihan di bidang agama. Ujian Nasional pun mengikuti aturan sama persis dengan SMP dan setelah tamat dapat melanjutkan ke sekolah umum baik Negeri maupun Swasta.

Dari sisi status kelembagaan, MTsM menapaki jenjang-jenjang akreditasi dari status terdaftar tahun 1975 hingga diakui tahun 1991. Menjelang tahun 2006 terakreditasi B. Hingga tahun 2008 jumlah alumnus tercatat 1913 orang.

Perkembangan tersebut tidak lepas dari jasa-jasa para funding father yang telah banyak mengorbankan waktu, tenaga maupun fikirannya untuk berjuang di Jalan Allah. Harus diakui bahwa MTsM merupakan warisan dari orang-orang yang ikhlas berjuang tanpa pamrih. Mulai dari para pengurus, kepala sekolah, guru-guru, dan staf Tata Usaha, semua rela mendedikasikan diri untuk hidupnya sekolah Muhammadiyah yang berbasis keagamaan.

Kini perjalanan MTsM menjadi kian mantap dalam mengemban visi: “unggul dalam bidang mutu akademis yang berpijak pada akhlak mulia.” Adapun misi MTsM adalah:

Ø Menumbuhkan Idealisme segenap warga sekolah agar memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai prestasi sekolah yang optimal.

Ø Meningkatkan profesionalisme guru dan tenaga kependidikan lainnya agar memiliki keahlian, tanggungjawab dan kesejawatan dalam mencapai puncak prestasi sekolah.

Ø Melaksanakan pembelajaran dan pembimbingan siswa secara efektif dan efisien.

Ø Mendorong dan membantu siswa mengenali potensi dirinya sehingga  dapat dikembangkan secara optimal

Ø Meningkatkan penghayatan dan pengamalan ajaran agama untuk berperilaku/ berakhlaq mulia.

Ø Meningkatkan penerapan partisispasi dengan melibatkan segenap warga sekolah dan kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah/ madrasah.

Ø Meningkatkan KBM dalam rangka mencapai nilai mutu akademis secara periodik dan berkesinambungan.

Ø  Memperkokoh landasan ketaqwaan dalam mewujudkan akhlaq mulia anak didik dengan sesama murid, guru dan masyarakat. ***

 

 

 


                                                                                                         ( Bagian 6 )

NAMA YANG TAK TERLUPAKAN

 

Sebuah lembaga pendidikan tidak lepas dari peran seorang leader yang memimpin jalannya aktifitas belajar mengajar. Semenjak berdirinya hingga buku ini ditulis, MTsM Batang mengalami beberapa pergantian Kepala Sekolah. Tidak bisa dilupakan jasa-jasa besar sejumlah Kepala Sekolah yang menjadi pandega MTsM antara lain Bapak HR. Moch. Soeprapta (masa transisi: 1975),  Bapak S. Abdul Karim (1975 - Mei 1982 & Januari 1984 - Juli 1986), Bapak Achmad Barowi (Agustus 1982-Januari 1983), Bapak Mobin Sanusi (Mei 1983 - Agustus ), dan Bapak Harto Setiyono, BA (1986-sekarang).

Mereka adalah nama-nama yang tak terlupakan, yang sebagian hidupnya diabdikan untuk membesarkan MTsM. Jiwa mereka digerakkan oleh keikhlasan sehingga merasa tidak terbebani dalam mengemban amanah ummat dengan penuh semangat hanya mengharap ridha Allah swt.

Untuk mengenal lebih dekat pribadi dan kiprah mereka, berikut ini profil singkatnya:

 

 

HM. Moch Soeprapta adalah Kepala MTsM tahun 1975 (masa transisi). Lahir di Beji, Ungaran 24 Nopember 1931. Pernah sekolah guru zaman Jepang hingga RI lulus tahun 1953 di Surakarta, selanjutnya hijrah ke Batang tahun itu juga. Beliau adalah pendidik sejati yang mengenyam banyak pengalaman di bidangnya.  dan termasuk salah seorang perintis berdirinya PD Muhammadiyah Kabupaten Batang dan menjabat Ketua (1959-1964). Kariernya di bidang pendidikan  antara lain pernah menjadi Kepala SMP 4 Pasekaran Batang(1980-1988), Kepala SMP Negeri Subah (1976-1980) dan Kepala SMP Negeri  Buaran Pekalongan (1988-1991). Sejak muda aktif di berbagai organisasi dan menjadi panitia pendiri berbagai sekolah di Batang antara lain SMEA PERSIAPAN (sekarang SMK Negeri Batang), pendiri SMP Negeri 1 Batang.

 

Mobin Sanusi, dikenal sebagai Kepala Sekolah paling nyentrik, suka memakai sarung. Lahir di Pakah, Mantingan Ngawi Jawa Timur pada 9 Maret 1936 dan meninggal di tanggal yang sama pula: 9 Maret 1995. Tiba di Batang tahun 1958. Menempuh pendidikan di SR/SD Gondong, SMP Sragen, SMEA Solo dan Sekolah Tinggi Ekonomi Pekalongan (1963).

 

S. Abdul Karim (alm) dikenal sebagai sosok yang teguh menjalankan tugas dengan kepemimpinan yang low profil. Menjabat Kepala MTsM selama dua periode (tahun 1975- Mei 1982) dan (Januari 1984 - Juli 1986). Telaten dan sabar menghadapi murid-muridnya dan senantiasa berusaha menunjukkan sikap santun di hadapan siapapun.

 

Achmad Barowi (alm) lahir di Batang 17 Mei 1937. Sebagai alumnus MTs Islam Tebuireng Jombang (1953-1950) dan PGA beliau dikenal tegas dalam mendidik murid-muridnya. Karier dalam bidang pendidikan: pernah menjadi Guru MI Keputon Blado (1964 – 1965), Guru Agama SD Islam Krapyak Pekalongan, Guru Agama SD Muhammadiyah Warungasem, Guru Agama SD Kalipucang Wetan, Guru Agama SD Proyonanggan I, VII, X  (Kebonan), Guru dan Kepala MTsM Batang (Agustus 1982-Januari 1983).

 

( Bagian 7 )

                                      SEJARAH PRM
                                                                  PROYONANGGAN UTARA

 

Berdirinya PRM Proyonanggan Utara tidak lepas dari keberadaan masjid Bustanul Jannah. Ini terkait dengan pengajuan dana bantuan ke PP Muhammadiyah yang mensyaratkan berdirinya ranting Muhammadiyah terlebih dahulu.

PRM Proyonanggan Utara secara resmi berdiri tanggal 18 Shafar 1419 H/ 13 Juni 1998 dengan ketua pertamanya Bapoak HM. Harto, BA. Hal tersebut didasarkan pada Surat Pengesahan Nomor 103/skpd/prm/1995-2000 yang ditanda tangani Ketua PDM Batang Bapak H. Shomadun, BA, dan sekretarisnya Drs. Sholihin Hayat.

Nama-nama lain yang tercantum dalam surat tersebut adalah: Bapak Suradal, Bapak Amiril, Bapak Tri Irianto, Bapak Sri Sujoko, Bapak Abdul Rochim, dan Bapak Haryanto.

Secara administratif, nama Proyonanggan Utara muncul setelah adanya pemekaran, dimana wilayah Proyonanggan dibagi menjadi dua (Proyonanggan Utara dan Proyonanggan Selatan). Sebelumnya daerah ini bernama Keboban.

Tetapi berdirinya PRM Proyonanggan Utara tidak semata-mata didorong oleh rencana pembangunan masjid. Sebab jauh sebelumnya para kader dan simpatisan Muhammadiyah sudah bergerak menjalankan aktivitas dakwah, misalnya dengan menyelenggarakan Madrasah Diniyah yang merupakan embrio amal usaha Muhammadiyah di Proyonanggan Utara. Hanya saja, bendera Muhammadiyah sengaja tidak dimunculkan.

Bapak HM. Harto, dkk pada awalnya bergerak lewah wadah PHBI (Panitia Hari Besar Islam). Masyarakat muslim Proyonanggan Utara diajak untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan lewat pengajian-pengajian sebagai langkah pembinaan kerohanian bagi masyarakat. Selain itu, juga menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak melalui Madrasah Diniyah.

Para pengurus dan aktivis masjid/ mushalla di sekitar Proyonanggan Utara diajak duduk bersama untuk memikirkan strategi dakwah yang dapat menyentuh hati masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan saat itu antara lain shalat id di lapangan, arisan kurban dan membangun tempat ibadah.

          Melalui forum-forum pengajian tersebut perlahan-lahan ideologi Muhammadiyah sampai pada pendengar dan bisa diterima masyarakat. Semangat yang ditampilkan saat itu bukanlah mengajak masyarakat masuk Muhammadiyah secara langsung, tetapi yang terpenting ideologi Islam yang dibawa Muhammadiyah bisa diterima oleh masyarakat dan bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

          Peinsip paling mendasar adalah berusaha agar Muhammadiyah bisa memberikan andil sebanyak-banyak dalam memajukan masyarakat. Dari sisi keanggotaan, warga Muhammadiyah Ranting Proyonanggan Utara saat itu hanya beberapa gelintir orang. Tetapi seiring dengan diaktifkannya forum-forum pengajian, akhirnya menumbuhkan simpati masyarakat. Masyarakat Proyo Utara merasa diuntungkan oleh hadirnya Muhammadiyah.

Dan boleh dikatakan, masuknya Muhammadiyah ke kelurahan ini berjalan lancar dan tidak menimbulkan pertentangan. Tidak ada reaksi keras dari tokoh-tokoh organisasi lain.

Kiprah PRM Proyonanggan Utara semakin nyata setelah  dibangn masjid Bustanul Jannah sebagai sentral kegiatan dakwah. Pembinaan warga terus dilakukan secara intensif lewat forum-forum pengajian. Dan yang tak bisa dilupakan adalah peran Bapak H. Musyafak dan Ibu Hj. Umalichah, S.Ag yang banyak berkorban baik tenaga, fikiran maupun pendanaan dalam kegiatan-kegiatan awal PRM Proyonanggan Utara. Saat itu Bapak H. Musyafak menjadi imam tetap dan pengisi ceramah pada tiap malam Jumat di masjid Bustanul Jannah.

Begitulah semangat awal yang ditampilkan para aktivis dakwah saat itu, yang tidak pernah mengenal kata menyerah dalam berjuang menegakkan kalimat Allah. ***


Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website